Tuesday, June 4, 2013

Perguruan Tinggi, Cikal-Bakal Koruptor di Pemerintahan

Perguruan Tinggi, Cikal-Bakal Koruptor di Pemerintahan
Oleh: Achmad Mujahid Syayyaf 
(Mahasiswa KPI semester 4)

Rasanya tidak bosan-bosannya mengkaji kasus-kasus korupsi yang semakin menjamur di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Indonesia yang memiliki segudang keindahan alam baik disektor bahari maupun darat, tidaklah didukung dengan keindahan moral masyarakatnya, khususnya orang-orang berdasi, berjaz hitam yang duduk dikursi DPR sambil memakan uang rakyat.
            Menurut Syed Hussain Alatas, korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Robert Klitgard dalam bukunya Corrupt and Cities, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.[1] Tidak heran, Indonesia berada diperingkat pertama negara terkorup tingkat Asia pada tahun 2009 versi PERC (Political and Economic Risc Consultancy), dengan skor 8,32. Disusul urutan kedua dan ketiga adalah Thailand dengan skor 7,63 dan Kamboja 7,25. Pada tahun 2011 Indonesia masih merajai negara terkorup di Asia Pasifik dari 16 negara menurut PERC yang berbasis di Hongkong (Kompas, 2/22/2012). 
            Selama 2012, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 285 kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,22 triliun. ICW mencatat jumlah tersangka korupsi mencapai 597 orang. Jumlah itu menurun dibandingkan periode yang sama di tahun 2011. Saat itu, jumlah kasus korupsi sebanyak 436 kasus dengan 1.053 tersangka. Kemudian menurut MNC Media Research Polling, kasus korupsi di daerah berdasarkan data Kemendagri, sepanjang 2004 hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus kriminal. Di antara kasus-kasus tersebut, kasus korupsi adalah kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen. Sepanjang periode itu pula, sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan kepala daerah. Sementara itu, KPK baru menyelesaikan 37 dari 155 kasus yang ada. (hizbut-tahrir.or.id/3/1/2013).
            Dengan data-data di atas, menandakan bahwa korupsi sudah mengakar ditubuh Indonesia. Bahkan bisa dikatakan korupsi merupakan bagian dari budaya yang tak terpisahkan. Budaya korupsi dipahami sebagai sebuah perilaku korupsi yang telah dilakukan secara terus menerus dalam praktik-praktik kehidupan masyarakat dan mendapat permakluman sebagian besar masyarakat (Prof. Adi UNS). Budaya korupsi ini tidaklah terjadi pada jajaran pejabat sahaja. Tetapi, penyakit ini sudah menyebar kesektor Perguruan Tinggi Negeri. Sungguh ironis, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang diharapkan meluluskan sarjana yang bermoral sekaligus berintelektual, ternyata hal tersebut jah dari harapan. Lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi menjadi praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh birokrat kampus, bukan hanya ditingkat birokrat kampus, mahasiswa pun tidak luput dari praktik-praktik korupsi.
            Beberapa bulan yang lalu kasus korupsi menimpa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Seperti yang diberitakan, Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh telah menetapkan 3 tersangka dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) program beasiswa Pemerintah Aceh di Unsyah sebesar 3,6 miliar, yang besumber dari APBA 2009-2010 (tribunnews.com/2/5/2013).
            Selain itu kasus tipikor ini juga menimpa Universitas Negeri Jakarta yang melibatkan Pembantu Rektor III UNJ Fakhrudin Arbah dan Dosen Fakultas Teknik UNJ Tri Mulyono, dan sudah ditetapkan sebagai terdakwa. Kasus ini telah merugikan negera sebesar 5 miliar (www.didaktikaunj.com/2013/03/). Peristiwa di atas mencengangkan publik, karena sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mampu memberikan pengajaran moral yang baik terhadap mahasiswa, malah memberi teladan yang buruk. Mahasiswa yang duduk di Badan Eksekurif Mahasiswa (BEM) dan jajarannya hingga ke Presiden Mahasiswa (Presma) juga sudah berani melakukan praktik-praktik korupsi. Hal ini tidak asing lagi. Uang yang digelontorkan Universitas untuk memajukan kreatifitas mahasiswa melalui badan-badan perwakilan mahasiswa telah dimanfaatkan sendiri untuk kepentingan pribadi.
            Hal di atas diperkuat dengan pernyataan Mahfud MD "Bila dicermati, yang melakukan tindak korupsi kebanyakan orang-orang pandai yang hatinya tumpul. 80 persen koruptor merupakan sarjana. Ini membuktikan bahwa institusi perguruan tinggi di negara ini gagal mencetak lulusan yang berakhlak," ungkap Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII Mahfud MD saat ditemui seusai acara peluncuran Fun Bike UII 2013, Minggu (2/6/2013) (regional.kompas.com/read/2013/06/02). 
            Pernyataan tersebut tepat sekali, perguruan tinggi dijadikan sebagai sarang tikus-tikus akademisi. Pantas jika dielit pemerintahan banyak bermunculan koruptor-koruptor yang banyak merugikan negara. Kasus-kasus korupsi bukan hanya muncul di kedua universitas ini, praktik-praktik semacam ini pastinya masih banyak dilakukan kampus-kampus lainnya, yang belum ter-ekspose oleh media dan belum terungkap. Karena semakin canggihnya metode korupsi sehingga sulit dibuktikan. “Institusi perguruan tinggi saat ini hanya mencetak sarjana, tanpa disertai akhlak yang kuat. Imbasnya, saat menjadi pejabat atau petinggi politik, mereka melakukan tindak korupsi”, ungkap Mahfud MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. 
            Solusi yang ditawarkan penulis diantaranya, perlu adanya badan khusus independent ditiap-tiap kampus untuk mengawasi dan mengontrol anggaran pendidikan yang masuk maupaun yang keluar dari Universitas. Selain itu tugas badan tersebut juga mnegawasi perputaran uang ditingkat lembaga-lembaga yang dilegalkan oleh kampus. Seperti BEM baik BEM-Fakultas maupun BEM-Jurusan, Badan Otonom Mahasiswa (BOM), Dewan Mahasiswa (DEMA) hingga Presma. Kareana disinalah mahasiswa mulai berlatih meng-korupsi uang mahasiswa. Yang kebanyakan berasal dari organisasi mahasiswa.
            Mahasiswa yang ketika ber-orasi selalu menyeruakan hukum berat pelaku korupsi dan menjunjung tinggi sikap anti korupsi, ternyat itu hanyalah bualan belaka, pandai berbicara tapi tidak pandai mempraktikannya. Perlu adanya pembenahan mengenai sistem pendidikan di perguruan tinggi, Mahfud MD mengungkapkan “sistem pendidikan di perguruan tinggi harus bisa membentuk generasi yang berwatak dan berakhlak. Ia beranggapan bahwa agama dan ilmu pedidikan tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, agama menjadi dasar aplikasi ilmu yang telah didapat. Ketika kombinasi keduanya terjalin dengan baik maka institusi pendidikan akan melahirkan para cendekiawan, yakni lulusan yang tidak hanya pandai, tetapi juga memiliki akhlak. "Bekal akhlak yang ditanamkan sejak dini akan melahirkan generasi antikorupsi," di kutip dari regional.kompas.com (2013/06/02).
            Solusi di atas mudah-mudahan bisa mengembalikan nama baik perguruan tinggi, yang sudah dicap sebagai sarang tikus-tikus akademisi, yang menjadi cikal-bakal bertumbuhnya praktik-praktik korupsi di pemerintahan. Dengan adanya solusi tersebut akan mengembalikan harapan masyarakat, untuk memberantas kasus korupsi yang sudah mengakar di Indonesia ini. Sehingga tidak ada lagi kata-kata “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”, sehingga kata-kata yang muncul adalah “yang kaya dan miskin saling bahu-membahu mensejahterakan perekonomian Indonesia).



[1] PowerPoint Budaya Korupsi, Prof. Adi UNS. Slide 14
Read More

Total Pageviews

Popular Posts