Perguruan Tinggi, Cikal-Bakal Koruptor di Pemerintahan
Oleh: Achmad Mujahid Syayyaf
(Mahasiswa KPI semester 4)
Rasanya
tidak bosan-bosannya mengkaji kasus-kasus korupsi yang semakin menjamur di
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Indonesia yang memiliki segudang
keindahan alam baik disektor bahari maupun darat, tidaklah didukung dengan
keindahan moral masyarakatnya, khususnya orang-orang berdasi, berjaz hitam yang
duduk dikursi DPR sambil memakan uang rakyat.
Menurut
Syed Hussain Alatas, korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk
kepentingan pribadi. Robert Klitgard dalam bukunya Corrupt and Cities, korupsi
adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.[1] Tidak heran,
Indonesia berada diperingkat pertama negara terkorup tingkat Asia pada tahun
2009 versi PERC (Political and Economic Risc Consultancy), dengan skor 8,32.
Disusul urutan kedua dan ketiga adalah Thailand dengan skor 7,63 dan Kamboja
7,25. Pada tahun 2011 Indonesia masih merajai negara terkorup di Asia Pasifik
dari 16 negara menurut PERC yang berbasis di Hongkong (Kompas, 2/22/2012).
Selama 2012, Indonesia
Corruption Watch (ICW)
menemukan 285 kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,22 triliun. ICW
mencatat jumlah tersangka korupsi mencapai 597 orang. Jumlah itu menurun
dibandingkan periode yang sama di tahun 2011. Saat itu, jumlah kasus korupsi
sebanyak 436 kasus dengan 1.053 tersangka. Kemudian menurut MNC Media Research
Polling, kasus korupsi di daerah berdasarkan data Kemendagri, sepanjang 2004
hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat
kasus kriminal. Di antara kasus-kasus tersebut, kasus korupsi adalah kasus
terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen. Sepanjang periode itu pula,
sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan kepala daerah. Sementara itu, KPK baru
menyelesaikan 37 dari 155 kasus yang ada. (hizbut-tahrir.or.id/3/1/2013).
Dengan data-data di atas, menandakan
bahwa korupsi sudah mengakar ditubuh Indonesia. Bahkan bisa dikatakan korupsi
merupakan bagian dari budaya yang tak terpisahkan. Budaya korupsi dipahami sebagai
sebuah perilaku korupsi yang telah dilakukan secara terus menerus dalam
praktik-praktik kehidupan masyarakat dan mendapat permakluman sebagian besar
masyarakat (Prof. Adi UNS). Budaya korupsi ini tidaklah terjadi pada jajaran
pejabat sahaja. Tetapi, penyakit ini sudah menyebar kesektor Perguruan Tinggi
Negeri. Sungguh ironis, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang diharapkan meluluskan
sarjana yang bermoral sekaligus berintelektual, ternyata hal tersebut jah dari
harapan. Lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi menjadi praktik-praktik
korupsi yang dilakukan oleh birokrat kampus, bukan hanya ditingkat birokrat
kampus, mahasiswa pun tidak luput dari praktik-praktik korupsi.
Beberapa bulan yang lalu kasus
korupsi menimpa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Seperti yang
diberitakan, Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh telah menetapkan 3 tersangka
dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) program beasiswa Pemerintah Aceh di
Unsyah sebesar 3,6 miliar, yang besumber dari APBA 2009-2010
(tribunnews.com/2/5/2013).
Selain itu kasus tipikor ini juga
menimpa Universitas Negeri Jakarta yang melibatkan Pembantu Rektor III UNJ Fakhrudin Arbah dan Dosen Fakultas Teknik
UNJ Tri Mulyono, dan sudah ditetapkan sebagai terdakwa. Kasus ini telah
merugikan negera sebesar 5 miliar (www.didaktikaunj.com/2013/03/). Peristiwa di atas mencengangkan publik, karena sebagai lembaga
pendidikan yang diharapkan mampu memberikan pengajaran moral yang baik terhadap
mahasiswa, malah memberi teladan yang buruk. Mahasiswa yang duduk di Badan
Eksekurif Mahasiswa (BEM) dan jajarannya hingga ke Presiden Mahasiswa (Presma)
juga sudah berani melakukan praktik-praktik korupsi. Hal ini tidak asing lagi.
Uang yang digelontorkan Universitas untuk memajukan kreatifitas mahasiswa
melalui badan-badan perwakilan mahasiswa telah dimanfaatkan sendiri untuk
kepentingan pribadi.
Hal di atas
diperkuat dengan pernyataan Mahfud MD "Bila dicermati,
yang melakukan tindak korupsi kebanyakan orang-orang pandai yang hatinya
tumpul. 80 persen koruptor merupakan sarjana. Ini membuktikan bahwa institusi perguruan
tinggi di negara ini gagal mencetak lulusan yang berakhlak," ungkap Ketua
Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII Mahfud MD saat ditemui seusai acara peluncuran
Fun Bike UII 2013, Minggu (2/6/2013) (regional.kompas.com/read/2013/06/02).
Pernyataan tersebut tepat
sekali, perguruan tinggi dijadikan sebagai sarang tikus-tikus akademisi. Pantas
jika dielit pemerintahan banyak bermunculan koruptor-koruptor yang banyak
merugikan negara. Kasus-kasus korupsi bukan hanya muncul di kedua universitas
ini, praktik-praktik semacam ini pastinya masih banyak dilakukan kampus-kampus
lainnya, yang belum ter-ekspose oleh media dan belum terungkap. Karena semakin
canggihnya metode korupsi sehingga sulit dibuktikan. “Institusi perguruan
tinggi saat ini hanya mencetak sarjana, tanpa disertai akhlak yang kuat.
Imbasnya, saat menjadi pejabat atau petinggi politik, mereka melakukan tindak
korupsi”, ungkap Mahfud MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Solusi yang ditawarkan
penulis diantaranya, perlu adanya badan khusus independent ditiap-tiap kampus
untuk mengawasi dan mengontrol anggaran pendidikan yang masuk maupaun yang
keluar dari Universitas. Selain itu tugas badan tersebut juga mnegawasi perputaran
uang ditingkat lembaga-lembaga yang dilegalkan oleh kampus. Seperti BEM baik
BEM-Fakultas maupun BEM-Jurusan, Badan Otonom Mahasiswa (BOM), Dewan Mahasiswa
(DEMA) hingga Presma. Kareana disinalah mahasiswa mulai berlatih meng-korupsi
uang mahasiswa. Yang kebanyakan berasal dari organisasi mahasiswa.
Mahasiswa yang ketika
ber-orasi selalu menyeruakan hukum berat pelaku korupsi dan menjunjung tinggi
sikap anti korupsi, ternyat itu hanyalah bualan belaka, pandai berbicara tapi
tidak pandai mempraktikannya. Perlu adanya pembenahan mengenai sistem
pendidikan di perguruan tinggi, Mahfud MD mengungkapkan “sistem pendidikan di
perguruan tinggi harus bisa membentuk generasi yang berwatak dan berakhlak. Ia
beranggapan bahwa agama dan ilmu pedidikan tidak bisa dipisahkan. Pasalnya,
agama menjadi dasar aplikasi ilmu yang telah didapat. Ketika kombinasi keduanya
terjalin dengan baik maka institusi pendidikan akan melahirkan para
cendekiawan, yakni lulusan yang tidak hanya pandai, tetapi juga memiliki
akhlak. "Bekal akhlak yang ditanamkan sejak dini akan melahirkan generasi
antikorupsi," di kutip dari regional.kompas.com
(2013/06/02).
Solusi di atas
mudah-mudahan bisa mengembalikan nama baik perguruan tinggi, yang sudah dicap
sebagai sarang tikus-tikus akademisi, yang menjadi cikal-bakal bertumbuhnya
praktik-praktik korupsi di pemerintahan. Dengan adanya solusi tersebut akan
mengembalikan harapan masyarakat, untuk memberantas kasus korupsi yang sudah
mengakar di Indonesia ini. Sehingga tidak ada lagi kata-kata “yang kaya semakin
kaya dan yang miskin semakin miskin”, sehingga kata-kata yang muncul adalah
“yang kaya dan miskin saling bahu-membahu mensejahterakan perekonomian
Indonesia).
0 komentar:
Post a Comment