Tuesday, June 4, 2013

Perguruan Tinggi, Cikal-Bakal Koruptor di Pemerintahan

Perguruan Tinggi, Cikal-Bakal Koruptor di Pemerintahan
Oleh: Achmad Mujahid Syayyaf 
(Mahasiswa KPI semester 4)

Rasanya tidak bosan-bosannya mengkaji kasus-kasus korupsi yang semakin menjamur di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Indonesia yang memiliki segudang keindahan alam baik disektor bahari maupun darat, tidaklah didukung dengan keindahan moral masyarakatnya, khususnya orang-orang berdasi, berjaz hitam yang duduk dikursi DPR sambil memakan uang rakyat.
            Menurut Syed Hussain Alatas, korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Robert Klitgard dalam bukunya Corrupt and Cities, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.[1] Tidak heran, Indonesia berada diperingkat pertama negara terkorup tingkat Asia pada tahun 2009 versi PERC (Political and Economic Risc Consultancy), dengan skor 8,32. Disusul urutan kedua dan ketiga adalah Thailand dengan skor 7,63 dan Kamboja 7,25. Pada tahun 2011 Indonesia masih merajai negara terkorup di Asia Pasifik dari 16 negara menurut PERC yang berbasis di Hongkong (Kompas, 2/22/2012). 
            Selama 2012, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 285 kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 1,22 triliun. ICW mencatat jumlah tersangka korupsi mencapai 597 orang. Jumlah itu menurun dibandingkan periode yang sama di tahun 2011. Saat itu, jumlah kasus korupsi sebanyak 436 kasus dengan 1.053 tersangka. Kemudian menurut MNC Media Research Polling, kasus korupsi di daerah berdasarkan data Kemendagri, sepanjang 2004 hingga 2012, ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus kriminal. Di antara kasus-kasus tersebut, kasus korupsi adalah kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen. Sepanjang periode itu pula, sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan kepala daerah. Sementara itu, KPK baru menyelesaikan 37 dari 155 kasus yang ada. (hizbut-tahrir.or.id/3/1/2013).
            Dengan data-data di atas, menandakan bahwa korupsi sudah mengakar ditubuh Indonesia. Bahkan bisa dikatakan korupsi merupakan bagian dari budaya yang tak terpisahkan. Budaya korupsi dipahami sebagai sebuah perilaku korupsi yang telah dilakukan secara terus menerus dalam praktik-praktik kehidupan masyarakat dan mendapat permakluman sebagian besar masyarakat (Prof. Adi UNS). Budaya korupsi ini tidaklah terjadi pada jajaran pejabat sahaja. Tetapi, penyakit ini sudah menyebar kesektor Perguruan Tinggi Negeri. Sungguh ironis, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang diharapkan meluluskan sarjana yang bermoral sekaligus berintelektual, ternyata hal tersebut jah dari harapan. Lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi menjadi praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh birokrat kampus, bukan hanya ditingkat birokrat kampus, mahasiswa pun tidak luput dari praktik-praktik korupsi.
            Beberapa bulan yang lalu kasus korupsi menimpa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Seperti yang diberitakan, Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh telah menetapkan 3 tersangka dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) program beasiswa Pemerintah Aceh di Unsyah sebesar 3,6 miliar, yang besumber dari APBA 2009-2010 (tribunnews.com/2/5/2013).
            Selain itu kasus tipikor ini juga menimpa Universitas Negeri Jakarta yang melibatkan Pembantu Rektor III UNJ Fakhrudin Arbah dan Dosen Fakultas Teknik UNJ Tri Mulyono, dan sudah ditetapkan sebagai terdakwa. Kasus ini telah merugikan negera sebesar 5 miliar (www.didaktikaunj.com/2013/03/). Peristiwa di atas mencengangkan publik, karena sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mampu memberikan pengajaran moral yang baik terhadap mahasiswa, malah memberi teladan yang buruk. Mahasiswa yang duduk di Badan Eksekurif Mahasiswa (BEM) dan jajarannya hingga ke Presiden Mahasiswa (Presma) juga sudah berani melakukan praktik-praktik korupsi. Hal ini tidak asing lagi. Uang yang digelontorkan Universitas untuk memajukan kreatifitas mahasiswa melalui badan-badan perwakilan mahasiswa telah dimanfaatkan sendiri untuk kepentingan pribadi.
            Hal di atas diperkuat dengan pernyataan Mahfud MD "Bila dicermati, yang melakukan tindak korupsi kebanyakan orang-orang pandai yang hatinya tumpul. 80 persen koruptor merupakan sarjana. Ini membuktikan bahwa institusi perguruan tinggi di negara ini gagal mencetak lulusan yang berakhlak," ungkap Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII Mahfud MD saat ditemui seusai acara peluncuran Fun Bike UII 2013, Minggu (2/6/2013) (regional.kompas.com/read/2013/06/02). 
            Pernyataan tersebut tepat sekali, perguruan tinggi dijadikan sebagai sarang tikus-tikus akademisi. Pantas jika dielit pemerintahan banyak bermunculan koruptor-koruptor yang banyak merugikan negara. Kasus-kasus korupsi bukan hanya muncul di kedua universitas ini, praktik-praktik semacam ini pastinya masih banyak dilakukan kampus-kampus lainnya, yang belum ter-ekspose oleh media dan belum terungkap. Karena semakin canggihnya metode korupsi sehingga sulit dibuktikan. “Institusi perguruan tinggi saat ini hanya mencetak sarjana, tanpa disertai akhlak yang kuat. Imbasnya, saat menjadi pejabat atau petinggi politik, mereka melakukan tindak korupsi”, ungkap Mahfud MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. 
            Solusi yang ditawarkan penulis diantaranya, perlu adanya badan khusus independent ditiap-tiap kampus untuk mengawasi dan mengontrol anggaran pendidikan yang masuk maupaun yang keluar dari Universitas. Selain itu tugas badan tersebut juga mnegawasi perputaran uang ditingkat lembaga-lembaga yang dilegalkan oleh kampus. Seperti BEM baik BEM-Fakultas maupun BEM-Jurusan, Badan Otonom Mahasiswa (BOM), Dewan Mahasiswa (DEMA) hingga Presma. Kareana disinalah mahasiswa mulai berlatih meng-korupsi uang mahasiswa. Yang kebanyakan berasal dari organisasi mahasiswa.
            Mahasiswa yang ketika ber-orasi selalu menyeruakan hukum berat pelaku korupsi dan menjunjung tinggi sikap anti korupsi, ternyat itu hanyalah bualan belaka, pandai berbicara tapi tidak pandai mempraktikannya. Perlu adanya pembenahan mengenai sistem pendidikan di perguruan tinggi, Mahfud MD mengungkapkan “sistem pendidikan di perguruan tinggi harus bisa membentuk generasi yang berwatak dan berakhlak. Ia beranggapan bahwa agama dan ilmu pedidikan tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, agama menjadi dasar aplikasi ilmu yang telah didapat. Ketika kombinasi keduanya terjalin dengan baik maka institusi pendidikan akan melahirkan para cendekiawan, yakni lulusan yang tidak hanya pandai, tetapi juga memiliki akhlak. "Bekal akhlak yang ditanamkan sejak dini akan melahirkan generasi antikorupsi," di kutip dari regional.kompas.com (2013/06/02).
            Solusi di atas mudah-mudahan bisa mengembalikan nama baik perguruan tinggi, yang sudah dicap sebagai sarang tikus-tikus akademisi, yang menjadi cikal-bakal bertumbuhnya praktik-praktik korupsi di pemerintahan. Dengan adanya solusi tersebut akan mengembalikan harapan masyarakat, untuk memberantas kasus korupsi yang sudah mengakar di Indonesia ini. Sehingga tidak ada lagi kata-kata “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”, sehingga kata-kata yang muncul adalah “yang kaya dan miskin saling bahu-membahu mensejahterakan perekonomian Indonesia).



[1] PowerPoint Budaya Korupsi, Prof. Adi UNS. Slide 14
Read More

Tuesday, May 28, 2013

Bahasa Indonesia dan Ketahanan Nasional


A. Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Pendidikan
            Melihat sejarah sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 terdapat tiga panji yang sampai hari ini masih didengungkan setiap memperingati hari sumpah pemuda. Panji-panji yang dicetuskan oleh persatuan pemuda-pemuda Indonesia menjadi batu loncatan bangsa Indonesia untuk bersatu padu menghadapi kolonialisme Belanda melalui bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
            Butir ketiga dari konsep sumpah pemuda yang berbunyi “Kami poetra dan  poetri Indoenesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”, menjadi alat pemersatu bagi Indonesia yang terdiri dari berbagai macam bahasa daerah. Bagaimana jadinya jika orang Sunda berbicara dengan Orang Nusa Tenggara Barat yang masing memiliki bahasa daerah tersendiri. Tentunya komunikasi antar dua orang tersebut tidak nyambung. Jadi sungguh luar biasa pemuda-pemuda Indonesia yang saat itu mampu menyatukan tekad dan visi untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
            Hal ini bertolak belakang dengan negara tetangga Indonesia, yang selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh karenanya bahasa Indonesia menjadi bagian dari ketahanan nasional yang harus dijaga. Seperti penjelasan sebelumnya, penulis akan memaparkan penjelasa mengenai penerapan politik bahasa Indonesia dalam ketahanan nasional dari perspektif pendidikan.
Ketahanan nasional ini meliputi politik, ekonomi, budaya, pendidikan dan sebagainya. Pendidikan merupakan bagian dari ketahanan nasional yang sangat dibutuhkan bagi suatu negara, guna mencerdaskan masyarakat yang ada di dalam suatu negara. Bahasa Indonesia tidak bisa dijauhkan dari institusi pendidikan.   Salah satu hasil dari “Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975,  dikemukakan di dalamnya bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern[1].
Kadudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan pendidikan nasional adalah :
- Sebagai mata pelajaran pokok
- Bahasa pengantar disemua jenis dan jenjang sekolah
B. Hal-hal yang Mempengaruhi Pengembangan Bahasa Indonesia
a. Kualifikasi tenaga pengajar yang dipertanyakan
Berdasarkan kegiatan kebahasaan yang penulis lakukan melalui MLI Komisariat daerah Gorontalo bekerja sama dengan Dinas PDK Kotamadya dan Kabupaten Gorontalo, dapat diambil simpulan bahwa guru lebih banyak mengajarkan teori daripada praktik berbahasa. Hal yang ingin disarankan di sini, yakni mutu guru BI sebaiknya ditingkatkan. Selain itu, guru SD yang setiap  hari bertindak sebagai guru kelas sebaiknya ditinjau kembali[2].
Melihat data di atas keprofesionalan pengajar sahrusnya manjadi syarat utama untuk keberlangsungan pendidikan Indonesia. Bukan hanya sekedar menyampaikan secara teori tapi juga mempraktikan kepada siswa bagaimana menggunakan bahasa Indonesia secara benar. Dengan mencontohkan kepada siswa maka bahasa Indonesia akan lebih tertanam dalam benak siswa. Ini berlaku pada semua tenaga pengajar baik, TK, SD, SMP,SMA dan Perguruan Tinggi.
Bukan hanya pada tataran praktis dan teori saja. Seorang tenaga pengajar juga bisa menterjemahkan kalimat-kalimat bahasa asing ke bahasa Indonesia. Dengan kemampuan tenaga pengajar yang mumpuni maka mata pelajaran bahasa Indonesia bisa tersalurkan dengan baik kepada siswa. Jadi posisi guru dalam politik bahasa indonesia kaitannya dengan pendidikan pengaruhnya sangat besar. Banyak sekali pengalaman yang kurang menyenangkan siswa, lebih-lebih kalau pelaksanaan pengajaran dilakukan secara tradisional, sisiwa pada umumnya pasif saja, dalam arti kata: duduk dengan sikap yang baik mendengarkan keterangan-keterangan guru, mencatat keterangan-keterangan itu, mengingat-ingatnya, dan memberikan jawaban yang sama betul dengan yang diterangkan jika ditanyakan guru. Sikap bosan yang sangat menghambat mereka lancar dalam belajar Bahasa Indonesia[3].
b. Sarana Pendidikan
Selain peran guru yang sangat penting, tetapi perlu adanya fasilitas yang disediakan lembaga sekolah guna menunjang metode pengajaran bahasa Indonesia, diantaranya:
1. Pengadaan buku pelajaran dan buku bacaan Bahasa Indonesia
2. Pemanfaatan perpustakaan
3. Pendayagunaan ruangan-ruangan latihan ber-Bahasa Indoensia, seperti: Laboratorium BI, ruang pentas keunggulan pemakaian bahasa, runag sastra Indonesia, dan sebagainya.
4.Penggunaan alat-alat teknologi modern, seperti : tape, radio, TV, LCD Proyektor dan sebagainya[4].
            Sarana pendidikan ini sangat mempengaruhi guru dalam menyampaikan materi bahasa Indonesia dan siswa dalam menerima materi dari guru tersebut. Sayangnya hal ini juga menjadi persoalan yang belum tuntas hingga saat ini, pasalnya masih banyak siswa yang harus melewati sungai ketika berangkat, tidak jarang siswa juga harus belajar dengan kondisi bangunan yang hampir roboh. Fenomena ini terjadi di daerah terpencil.
            Inilah yang menghambat proses belajar sisiwa dalam memperdalam pengetahuannya pada bahasa Indonesia. Sehingga mengakibatkan minat belajar sisiwa yang menurun.
c. Sikap apatis pelajar terhadap penggunaan bahasa indonesia dalam institusi pendidikan
Sikap apatis yaitu sikap kurang antusias, bahkan tidak tertarik terhadap suatu hal. Dalam Bahasa Indonesia sikap apatis sering ditunjukkan dengan tidak menggunakan bahasa yang tidak baik dan benar.
Bangsa Indonesia saat ini lebih melestarikan budaya negara lain ketimbang budaya sendiri. Termasuk dalam penggunaan bahasa asing. Menjamurnya tempat kursus atau tempat les bahasa Inggris. Ini mengindikasikan bahwa bahasa Inggris telah mendapat perhatian lebih dibanding bahasa negara sendiri. Alhasil,  penggunaan bahasa Indonesia yang diakui sebagai bahasa nasional kini telah meredup oleh gemerlap bahasa asing. Sikap apatis terhadap bahasa Indonesia semakin nampak.Orang-orang lebih senang mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris atau bahkan tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Penyebabnya, kebanyakan diantara kita berpikir bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak gaul dan tidak keren.
 Lembaga pendidikanpun berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan sebagai sekolah bertaraf internasional. Dimana bahasa pengantar yang digunakan, menggunakan bahasa Inggris. Sementara itu, dalam pola pikir  siswa-siswi sekarang ini kedudukan bahasa Indonesia sangatlah rendah jika dibanding dengan bahasa Inggris. Salah satu buktinya jam mengajar untuk mata pelajaran bahasa Inggris acap kali ditemukan lebih banyak “menelan” waktu dibanding mata pelajaran bahasa Indonesia.
di tengah Indonesia yang sedang ingin membangun citra sebagai negara yang kaya akan bahasa, namun kebanggaan memakai bahasa Indonesia ternyata memalukan. Kita seolah-olah tidak memiliki rasa bangga akan budaya kita sendiri. Bisa saja, kita tidak paham bahwa dengan sikap seperti itu perlahan-lahan akan mematikan pemakaian bahasa Indonesi
Bahasa Indonesia adalah Penguat Nasionalisme, Bukti Kebudayaan. perkembangan bahasa Indonesia menjadi bukti bahwa jiwa nasionalisme kita juga perlu dipertanyakan. Sejumlah ahli membenarkan akan pernyataan tersebut. Salah satunya, Eli kedouri, berpendapat bahwa persatuan bahasa juga sebagai landasan nasionalisme. Alasannya, dikarenakan bahasa adalah media penyampai-dapat berupa gagasan dan lainnya-yang bisa menghubungkan dan mengikat banyak orang dalam kesatuan (Eli kedourie, 1960: 19-20).
Solusi untuk meningkatkan pengembangan bahasa Indoensia
1. Peranan Pemerintah dalam Peningkatan Penggunaan Bahasa Indonesia. Menyadari peran penting pendidikan bahasa Indonesia, pemerintah seharusnya terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan. Apabila pola pendidikan terus mengikuti pola-pola lama, maka hasil dari pembelajaran bahasa Indonesia yang didapatkan oleh siswa juga tidak akan berpengaruh banyak. Sejalan dengan tujuan utama pembelajaran bahasa Indonesia supaya siswa memiliki kemahiran berbahasa diperlukan sebuah pola alternatif baru yang lebih variatif dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah.
2. Peranan perpustakaan sekolah perlu ditingkatkan dan buku-buku dilengkapi. Guru perllu ditatar untuk menjadi guru pustakawan.
3. Meningkatkan pembinaan guru bahasa Indonesia, untuk mendapatkan guru dengan baik. Yaitu dengan penataran dalam keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penggunaan metode dan sarana pengajaran.
4. Mengembangkan metode dan sarana pengajaran yang lebih baik.




[1] Masnur Muslich, Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi, ((Jakarta, Bumi Aksara, 2010)
[2]Ibid, 25.
[3] Ibid, 147-148.
[4] Ibid, 139-140.
Read More

Sunday, May 26, 2013

Adil Dalam Membaca


Adil Dalam Membaca
Oleh: Achmad Mujahid Syayyaf

Ada banyak aktivitas positif yang bisa  kita manfaatkan untuk mengisi waktu kosong. Salah satunya adalah aktivitas membaca, tentunya membaca yang dimaksud adalah membaca karya-karya media cetak. Media cetak ini terdiri atas artikel, koran, majalah, buku, kitab dll. Kedengarannya hal sekecil ini sering disepelekan oleh teman-teman. Orang pandai menulis diawali dengan membaca, orang bereksperimen diawali dengan membaca, orang berdiskusi diawali dengan membaca, orang menjadi dosen diawali dengan membaca, orang menjadi presiden juga diawali dengan membaca, orang bisa membuat buku juga diawali dengan membaca dan sebagainya.
Jadi ada banyak orang sukses diawali dengan membaca buku, walaupun aspek-aspek lainnya juga menjadi faktor pendukung kita menjadi sukses, seperti membaca situasi, membaca fenomena yang berkembang disekitar, membaca pikiran orang lain dan faktor-faktor pendukung lainnya. Oleh karenanya membaca buku dan sejenisnya yang merupakan karya media cetak sangat dibutuhkan, apalagi dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih bisa dimanfaatkan, dengan membaca buku digital atau artikel-artikel lainnya.
Jordan E. Ayan pernah menyatakan dalam bukunya yang berjudul ‘Bengkel Kreativitas’ bahwa membaca memiliki dampak positif bagi perkembangan kecerdasan,    yaitu: 1) mempertinggi kecerdasan verbal/linguistik, karena dengan banyak membaca akan memperkaya kosakata, 2) meningkatkan kecerdasan matematis-logis dengan “memaksa” kita menalar, mengurutkan dengan teratur dan berpikir logis untuk dapat mengikuti jalan cerita atau memecahkan suatu misteri, 3) mengembangkan kecerdasan intrapersonal dengan mendesak kita merenungkan kehidupan dan mempertimbangkan kembali keputusan akan cita-cita hidup, dan 4) membaca dapat memicu imajinasi dengan mengajak kita membayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian, lokasi dan karakternya (http://www.pemustaka.comhttp://www.pemustaka.com/menumbuhkan-budaya-gemar-membaca-dengan-membangun-perpustakaan-idaman.html).
            Pendepat Jordan E. Ayan mempertegas bahwa dengan membaca ada banyak efek positif  yang bisa teman-teman dapatkan. Hal ini juga didukung dengan peristiwa turunnya wahyu dari Allah melalui perantara Jibril kepda Nabi Muhammad saw. Jika teman-teman melihat kembali sejarah turunnya wahyu kepada Rasulullah Muhammad saw, malaikat Jibril berkata “Bacalah”, kemudia Nabi bersabda “Aku tidak dapat membaca”, Rasulullah pun melanjutkan, “Lalu Jibril memegangku seraya mendekapku sampai aku merasa kepayahan”. Selanjutnya, Jibril melepaskanku dan berkata, “Bacalah”. Aku tidak dapat membaca jawabku. Kemudian Jibril mendekapku untuk kedua kalinya sampai benar-benar kepayahan. Selanjutnya, ia melepaskan aku lagi seraya berkata, “Bacalah”. Aku tetap menjawab “Aku tidak dapat. Lalu dia mendekapku untuk ketiga kalinya sampai aku benar-benar kepayahan. Setelah itu, dia melepaskanku lagi seraya berkata, “Bacalah dengan Nama Rabb-mu yang menciptakan”. (Diambil dari Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Alaq: 1).
Dari sepenggal kisah di atas dapat disimpulkan bahwa Allah SWT juga memerintahkan manusia untuk mencari ilmu dengan mrmbaca. Allah SWT mengajarkan  Nabi Muhammad saw membaca melalui perantaraan malaikat Jibril, sebelum melaksanakan tugasnya untuk mengajak umatnya ke jalan yang benar. Dengan membaca akan terbukalah pikiran, maka benarlah slogan “membaca buku, akan membuka dunia” atau “buku adalah jendela dunia”. Sebagai umat Islam maka perlu diseimbangkan porsi membaca Al-Qur’an dengan membaca buku-buku Islam, umum, koran dan tulisan-tulisan lainnya yang termuat pada media cetak. Jangan sampai tidak ada waktu untuk membaca Al-Qur’an, perintah Allah dalam surah Al ‘Ankabut ayat 29 yang berbunyi, Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran)”. Karena itu adalah kebutuhan teman-teman selaku umat Islam dan juga jangan dilupakan membaca buku-buku pokok seperti, buku sejarah Nabi Muhammad, para shahabat, fiqih, aqidah, pemikiran Islam dan sebagainya. Karena buku-buku tersebut akan menjadi pondasi serta filter kita ditengah-tengah kecanggihan teknologi informasi, yang menibulkan pemikiran modernisasi, westernisasi, dan globalisasi.

Tetapi disisi lain, sebagai umat Islam jangan sampai buta terhadap karya-karya bangsa Barat hari ini, jangan sampai kita menutup diri, hendaknya kita bersikap secara proporsional. Pada abad ke 8 masehi, agama lain (non Islam) melarang pemeluk-pemeluknya membaca kitab-kitab agama lain, yang berisi keyakinan lain dan memasukkan kitab yang berbahaya ini kedalam daftar kitab yang tidak diperbolehkan membaca. Sebaliknya khalifah Islam memberikan kebijakan untuk menterjemahkan kitab-kitab dari bermacam-macam agama dan madzhab yang ada pada masa itu. Agar dapat dipelajari, dibaca, dan didiskusikan oleh intelektual muslim pada masa itu.
Berani menempuh ujian, menerima kebenaran walaupun datangnya dari pihak lain, tidak takut menolak kebatilan sesudah diperiksa dan diselidiki, walaupun berada pada pihak lain. Ulama-ulama Islam membaca dan menelaah kitab-kitab Socrates, Plato, Aristoteles, Ptolemeus dan sebagainya, yang kemudian mereka bersama-sama meringkas, menelaah, dan mendiskusikan dengan pemikirannya sendiri, dan lahirlah zaman baru yaitu zaman terjemahan yang melanjutkan penyelidikan yang ada. Yang mengantarkan pada zaman kedua yaitu zaman filosof Islam (Capita selecta 1, M. Natsir). Tokoh-tokohnya ialah Ibnu Maskawih, Ibnu Kahldun, Al Farabi, Ibn Sina, Al Kindi, Al Khawaizmi dan filosof-filosof lainnya.
Jadi teruslah membaca dan janganlah berhenti ditengah jalan. Bacalah buku-buku terbaik. Dan ingat-ingat kata Albert Einstein, “Setiap orang yang banyak membaca tapi sedikit menggunakan akalnya sendiri akan menjadi orang yang malas berpikir” (http://kata-kata-mutiara.org). Membaca adalah faktor pendukung teman-teman dalam mngolah daya berfikir teman-teman ntuk mengeluarkan ide-ide besar, mempertajam analisis, dan tentunya semakin bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Esther  Meynell mengungkapkan “Buku, bagi seorang anak yang membaca, lebih dari sekedar buku. Tetapi ia merupakan impian seklaigus pengetahuan dan mesa depan sekaligus masa silam”. Edwin P. Whipple, “Buku adalah mercesuar  yang  berdiri ditepi samudera waktu yang luas”.  
Teruslah membaca, teruslah berfikir maju untuk memunculkan kembali sinar-sinar kebaikan yang muncul dari buah fikir maju. Tiada hari tanpa membaca.



Read More

Tuesday, May 21, 2013

Kajian Ustad Felix "Belajar dan Mengajar""


Read More

Monday, May 13, 2013

STUDI KRITIS KONSEP PEMBINAAN PASCA AB1


STUDI KRITIS KONSEP PEMBINAAN PASCA AB1
Oleh: Achmad Mujahid Syayyaf

            Pasca AB1, konsep pembinaan yang dilakukan KAMMI memang sudah cukup bagus. Dengan 2 program wajib yang harus diikuti anggota baru yaitu, Madrasah KAMMI Klasikal dan Madrasah KAMMI Khos. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah sumber daya pemandu, kususnya MK Khos dan materi yang diberikan kepada peserta.
            Seharusnya pemandu MK Khos dipersiapkan jauh hari sebelum perekrutan dan digodog terlebih dahulu mengenai kapasitasnya dan keberanian berbicara di depan umum. Ada banyak kader KAMMI ketika diamanahkan untuk menjadi pemandu MK Khos merasa keberatan, hanya karena belum siap baik kapsitasnya maupun keberaniannya berbicara di depan umum. Inilah yang menyebabkan sumber daya pemandu menjadi lemah dan menurun.
            Penulis menyarankan, sebelum pemandu MK Khos dilepas ke lapangan. Hendaknya diasah terlebih dahulu mental dan kapasitasnya sebagai AB2, kurang lebih selama 10 kali pertemuan. Ini dilakukan ditengah-tengah AB3 dan AB2 agar benar-benar matang dalam pembinaan pemandu serta mandapatkan masukan dan kritikan yang membangun.
            Kemudian materi untuk MK Klasikal dan MK Khos dirasa perlu ada perubahan sedikit. Perlu adanya materi mengenai Ke Indonesiaan, seperti sejarah pergerakan mahasiswa, sejarah gerakan Islam modern Indonesia, mengupas pemikiran tokoh Islam baik Indonesia maupun luar Indonesia, dan media. Tidak masalah melanggar manhaj selama itu untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Ini dirasa penting untuk menambah kapsitas kader karena sebagai umat islam yang berkewarga negaraan Indonesia seharusnya mengetahui sejarah Founding Father tokoh Islam Indonesia.
            Selain dua permasalahan di atas, juga ada permasalahan lainnya yang perlu dikritisi yaitu budaya silaturahim tokoh yang mulai pudar dari masyarakat KAMMI. Ini akan melunturkan jiwa semangat kader dan akan mmendapatkan wawasan keilmuan yang belum didapatkan kader. Dan ini bukan hanya dikususkan untuk kader AB1 tapi juga untuk kader AB2 karena yang akan menjalankan roda KAMMI adalah kader-kader baik AB1 maupun AB2. Seharusnya silaturahim tokoh ini diintenskan setiap komisariat.
            KAMMI yang mempunyai visi melahirkan kader-kader pemimpin masa depan dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia Islami, perlu adanya peningkatan kapasitas kader KAMMI baik AB1 maupun AB2. Diskusi KAMMI Kultural bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kapasitas kader. 
Read More

Tugas Esay DPMK


STUDI KRITIS KONSEP PEMBINAAN PASCA AB1
Oleh: Achmad Mujahid Syayyaf

            Pasca AB1, konsep pembinaan yang dilakukan KAMMI memang sudah cukup bagus. Dengan 2 program wajib yang harus diikuti anggota baru yaitu, Madrasah KAMMI Klasikal dan Madrasah KAMMI Khos. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah sumber daya pemandu, kususnya MK Khos dan materi yang diberikan kepada peserta.
            Seharusnya pemandu MK Khos dipersiapkan jauh hari sebelum perekrutan dan digodog terlebih dahulu mengenai kapasitasnya dan keberanian berbicara di depan umum. Ada banyak kader KAMMI ketika diamanahkan untuk menjadi pemandu MK Khos merasa keberatan, hanya karena belum siap baik kapsitasnya maupun keberaniannya berbicara di depan umum. Inilah yang menyebabkan sumber daya pemandu menjadi lemah dan menurun.
            Penulis menyarankan, sebelum pemandu MK Khos dilepas ke lapangan. Hendaknya diasah terlebih dahulu mental dan kapasitasnya sebagai AB2, kurang lebih selama 10 kali pertemuan. Ini dilakukan ditengah-tengah AB3 dan AB2 agar benar-benar matang dalam pembinaan pemandu serta mandapatkan masukan dan kritikan yang membangun.
            Kemudian materi untuk MK Klasikal dan MK Khos dirasa perlu ada perubahan sedikit. Perlu adanya materi mengenai Ke Indonesiaan, seperti sejarah pergerakan mahasiswa, sejarah gerakan Islam modern Indonesia, mengupas pemikiran tokoh Islam baik Indonesia maupun luar Indonesia, dan media. Tidak masalah melanggar manhaj selama itu untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Ini dirasa penting untuk menambah kapsitas kader karena sebagai umat islam yang berkewarga negaraan Indonesia seharusnya mengetahui sejarah Founding Father tokoh Islam Indonesia.
            Selain dua permasalahan di atas, juga ada permasalahan lainnya yang perlu dikritisi yaitu budaya silaturahim tokoh yang mulai pudar dari masyarakat KAMMI. Ini akan melunturkan jiwa semangat kader dan akan mmendapatkan wawasan keilmuan yang belum didapatkan kader. Dan ini bukan hanya dikususkan untuk kader AB1 tapi juga untuk kader AB2 karena yang akan menjalankan roda KAMMI adalah kader-kader baik AB1 maupun AB2. Seharusnya silaturahim tokoh ini diintenskan setiap komisariat.
            KAMMI yang mempunyai visi melahirkan kader-kader pemimpin masa depan dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia Islami, perlu adanya peningkatan kapasitas kader KAMMI baik AB1 maupun AB2. Diskusi KAMMI Kultural bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kapasitas kader. 
Read More

Thursday, April 25, 2013

Menambal Pondasi Yang Hilang

Ikatan ukhuwah tidak hanya dicapai melalui pendekatan emosional, kuantitas interaksi antar kader, games, dan rihlah namun bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih kreatif. Forum-forum diskusi adalah sebuah terobosan baru untuk mengikat ukhuwah antar kader.

Kamis, 25 April 2013 merupakan gebrakan ter-anyar di KAMMI kususnya bagi penulis sendiri yang masih haus akan keilmuan baik keislaman maupun non keislaman. Diskusi yang diusung oleh Kadept KP KAMMDA Kota, bang Robert, dengan tujuan membudayakan diskusi malam hari dan meng-upgrade daya keintelektualan kader-kader KAMMI. 

Dalam diskusi ini, mengusung tema "Agama Sebagai Bentuk Alienasi Karl Marx", yang dipimpin oleh Ahmad Zaenuri mahasiswa pascasarjana UIN SUKA dan dimoderatori oleh Ali Hasibuan. Diskusi yang dihadiri oleh Ilman, adi Nugroho, Fadli Kadir, Bang Umar, Dharma Setiyawan, Robert, Ahmad Zaenuri dan penulis sendiri awalnya bersifat formal dan berfokus pada pembahasan seputar pandangan Karl Marx terhadap agama, kemudian tanpa sadar berubah menjadi diskusi terbuka. Penulis menganngap bahwa diskusi ini sangat baik untuk menambah cakrawala pengetahuan. 

Awalnya penulis masih bisa menangkap pembicaraan diskusi ini namun semakin malam diskusi ini semakin berat untuk diserap, ibarat sebuat termometer yang sudah tidak mampu mengukur panas tubuh yang akhirnya pecah. Itulah perumpamaan kondisi penulis ketika mengikuti diskusi tersebut. Pada akhirnya diskusi santai ini berujung pada sebuah kesepakatan bersama untuk membentuk diskusi rutin, yang nantinya diharapakan kader-kader KAMMI UIN SUKA menjadi basis pemikiran Islam Kususnya di Yogyakarta. UIN yang notabennya kampus Islam seharusnya bisa menjadi rujukan bagi kampus-kampus di Jogja di dalam mengkaji pemikiran tokoh-tokoh Islam. 

Di era globalisasi yang serba instan, tokoh-tokoh Barat seperti, Karl Marx, Sigmund Freud, Emile Durkheim dan lain-lainnya masih dijadikan poros kerangka berfikir sebagian muslim dan non muslim. Hal ini menjadikan motivasi penulis dan kawan-kawan untuk kembali memunculkan cendekiawan-cendekiawan muslim ke permukaan pemikiran umat Islam dan non Islam yang digunakan sebagai metode analisis dalam menemukan solusi dari masalah-masalah yang kompleks. Seperti, Ibnu Khaldun, Hasan Albana, Al Farabi, Sutan Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Hamka, M. Natsir dan cendekiawan muslim lainnya. Dan Barat bukan lagi dijadikan patokan utama di dalam menganalisis permasalaha-permasalahan sosial yang terjadi. Tetapi yang dijadikan sebagai pisau analisis adalah cendekiawan-cendekiawan muslim. Sisi-sisi keintelektualan yang pernah dibangun oleh Rijalul Umam, Amin Sudarsono, Yusuf Maulana Dkk perlu dibangkitkan lagi dari tidur panjangnya. Dimana  KAMMI Jogja terkenal dengan keintelektualan 

Nantinya diskusi ini akan dikaji sesuai dengan basic keilmuan masing-masing. Misal mengkaji Hasan al Bana dari segi pendidikan, ekonomi, budaya, hukum, politik, pers, komunikasi dll. Ini merupakan langkah yang sangat baik untuk mengakarkan basic pemikiran Islam di KAMMI Komsat UIN ini. . Kemudian juga diskusi ini menambah kedekatan emosional antar kader dikarenakan semakin intensnya komunikasi yang dibangun dalam rangka betukar pikiran. Dalam komunikasi, semakin banyaknya tingkat komunikasi yang dibangun maka akan semakin banyak persamaan-persamaan yang pada akhirnya interaksi akan semakin efektif. Inilah nilai-nilai ukhuwah yang bisa penulis dapatkan atas forum diskusi yang sifatnya kultural.

Penulis mengharap temen-temen KAMMI UIN bisa mengikuti diskusi ini kususnya ikhwan karena waktunya juga bada isya... InsyaAllah bermanfaat... : )


Read More

Total Pageviews

Popular Posts